BANJIR SEBAGAI PROSES PENYADARAN |
Tuesday, 10 February 2009 14:06 |
Banjir besar yang dating dengan tiba-tiba dan mengalir deras. Kerugian banjir di Jakarta dan sekitarnya pada bulan februari 2007 diperkirakan oleh Bappenas mencapai Rp. 8,8 triliun. Departemen Sosial menyatakan, kerugian harta akibat banjir bandang di Situbondo dan Bondowoso Provinsi Jawa Timur, pada februari 2008 diperkirakan mencapai sekitar Rp. 350 miliar. Walhi memperkirakan total kerugian langsung akibat banjir yang melanda Pulau Sumatera sejak bulan Maret hingga November 2008 mencapai Rp. 500 miliar. Berita-berita terkait banjir dan kerugiannya yang biasanya menghiasi headline surat kabar ketika musim penghujan melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Kerugian akibat bencana banjir biasanya juga menyentuh persoalan interaksi sosial, terhentinya roda perekonomian untuk sementara dan kadang kala bisa berujung pada terenggutnya korban jiwa. Ada tiga faktor sangat berpengaruh penyebab banjir terjadi. Pertama kerusakan lingkungan, hal ini ditandai peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi (pemanasan global). Para pakar dan ilmuwan lingkungan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 derajat Celcius atau setara dengan 2,0 hingga 11,5 derajat fahrenheit antara tahun 1990 dan 2100. Kondisi bumi yang memanas menyebabkan perubahan iklim semakin tidak stabil. Dampak perubahan iklim bagi Indonesia dapat dirasakan dengan semakin keringnya musim kemarau dan intensitas air hujan yang semakin tinggi di musim penghujan. Naiknya permukaan air laut disebabkan dataran es di kutub mencair serta merta membuat abrasi pantai semakin cepat. Kedua fenomena alam tersebut membuat terbenamnya daratan yang biasanya kering dan dapat ditinggali oleh manusia atau biasa kita kenal dengan istilah banjir. Faktor kedua adalah sistem pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan semakin berpengaruh terhadap kehadiran bencana banjir, seiring dengan kecenderungan semakin meningkatnya wilayah perkotaan. Pertambahan jumlah penduduk, terutama di wilayah perkotaan, berdampak pada peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal dan daya dukung perkotaan. Meluasnya wilayah pemukiman memiliki pengaruh langsung terhadap berkurangnya daerah resapan air, karena hampir seluruh permukaan tanah berganti dengan aspal atau beton. Kondisi tersebut diperparah dengan penataan bangunan dan wilayah yang kurang memperhatikan sistem pembungan air. Kekurang ketersediaan pepohonan yang dapat berfungsi sebagai peresapan air merupakan kombinasi yang semakin sempurna untuk mendatangkan bencana banjir. Hampir sebagian besar kota-kota besar di Indonesia belum memiliki sistem drainase yang terpadu. Faktor ketiga yang lebih penting dari kedua faktor diatas adalah perilaku manusia. Perbedaan mencolok antara desa dengan kota selain dilihat dari tingkat kepadatannya adalah pola hidup. Orang di desa lebih mampu bersahabat dengan alam sekitarnya sedangkan di kota seringkali tidak menghiraukan aspek lingkungan. Buktinya adalah di kota-kota besar, gedung bertingkat dan jalanan beton menggusur tanah- tanah resapan air, bahkan situ atau danau ditimbun kemudian dibangun mall. Keegoisan manusia telah menyebabkan bencana banjir selalu dekat dengan kehidupan kita. Industrialisasi juga berawal dari kota, ditandai dengan bangunan pabrik-pabrik penggerak roda ekonomi , sehingga menjadikan kota juga sebagai penghasil polusi. Karena berbagai alasan orang dikota lebih senang mempergunakan kendaraan bermotor sehingga menghasilkan polusi lebih besar lagi. Pada satu titik tertentu, aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida (CO2) ke udara jauh melebihi kecepatan dan kemampuan alam untuk menguranginya. Hal tersebut telah berkontribusi kepada perubahan iklim yang semakin tidak bersahabat terhadap manusia. Tingkah laku manusia yang mengesankan keegoisannya terhadap alam juga dapat dilihat dari persoalan sampah yang berada pada sungai-sungai. Perilaku manusia dalam sistem pembuangan sampah juga memiliki andil dalam kehadiran bencana banjir. Setidaknya Walhi mencatat bahwa pada tahun 2000, kota Jakarta menghasilkan 25.700 m3 sampah per hari. Sehingga volume sampah selama tahun 2000 dapat mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur adalah 55.000 m3). Perilaku membuang sampah sembarangan telah berakibat pada terganggunya sistem pembuangan air dan pada gilirannya ketika musim hujan tiba akan mengakibatkan tergenangnya area di sekitar saluran air yang terhambat tersebut. Keegoisan tingkah laku manusia lainnya yang berkontribusi terhadap bencana banjir adalah pengrusakan alam secara membabi buta. Atas nama keuntungan pribadi seringkali hutan kita ditebang secara serampangan dan melupakan upaya penanaman kembali. Padahal pohon tersebut memiliki peran sebagai penyerap dan penahan air yang tidak dapat fungsinya digantikan oleh apapun. Selain itu pepohonan juga dapat berfungsi sebagai para-paru alam. Situasi yang cukup mengenaskan adalah adanya fakta tentang penggundulan hutan di sekitar daerah aliran sungai. Jadi sebenarnya penyebab kerusakan di bumi adalah ulah manusia dan yang akan merasakan dampaknya adalah manusia juga. Sebelum kepunahan ras manusia akibat dari perilaku manusia, terutama terkait dengan persahabatannya dengan alam, maka perlu langkah-langkah sistematis untuk menghadapi ketiga faktor penyebab utama bencana banjir. Persoalan tersulit sepertinya adalah bagaimana merubah tingkah laku manusia supaya dapat menciptakan keharmonian dengan alam. Merubah perilaku manusia secara keseluruhan sebenarnya dapat dimulai dengan mencobanya pada diri kita sendiri. Setelah itu, kita pun harus mulai bisa berperan memberikan penyadaran kepada masyarakat di sekitar kita. Sebagai mahluk sosial, tentunya manusia dapat mengupayakan sesuatu yang lebih besar lagi bagi kehidupan yang lebih baik. Manusia pun mampu untuk merencanakan sebuah sistem pengendalian banjir yang lebih terpadu dan memperhatikan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. Kita pun dapat berupaya untuk menghasilkan generasi yang ramah terhadap alam. Untuk menciptakan manusia yang bersahabat dengan alam, pastinya harus melibatkan alam dalam kegiatan belajar mengajar. Ilmu pengetahuan biologi, ekologi, geografi, fisika, kimia dan lain sebagainya dapat memberikan pemahaman kepada murid tentang banjir yang kerap terjadi ketika musim penghujan. Akan tetapi kebanyakan proses belajar hanya sebatas penyampaian informasi seperti di kelas. Padahal menurut penganut behaviourisme, seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Bloom (1956) seperti memperkuat pendapat kaum behaviour melalui taksonomi tujuan pendidikan yang memandang belajar itu harus meliputi tiga aspek yaitu kognitif (intelektual), afektif (emosi) serta psikomotor (perilaku). Konklusi sederhananya jika manusia belum mampu bersahabat dengan alam lingkungannya bahkan perilakunya merusak dan menyebabkan bencana, dapat saya katakan bahwa proses belajar tesebut telah gagal. Mungkin selama ini metode yang dipergunakan hanya sebatas ceramah dan menghapal rumus semata. Perubahan perilaku hidup yang ramah lingkungan bukan dibuktikan dengan teori maupun rumus semata tetapi dengan tingkah laku. Pendekatan metode pembelajaran dengan mengedepankan ranah afektif dan psikomotor harus lebih diutamakan. Metode live in adalah cara mengajar dengan memperkenalkan siswa terhadap objek belajar seperti sungai kemudian mencoba mempraktekkan pola hidup yang ramah terhadap lingkungan. Siswa berproses membangun makna atau pemahaman terhadap informasi dan pengalaman dengan dibantu oleh seorang guru (tutor). Pengajaran seperti ini mungkin dapat diterapkan pada berbagai kampung wisata atau pun sekolah alam. Penyadaran seperti ini yang akan mengubah perilaku manusia dalam memperlakukan alam dengan bijaksana sehingga bencana banjir dapat direduksi. |
SARANA MULTIFUNGSI ALTERNATIF UNTUK EVAKUASI KORBAN BENCANA BANJIR DI DAERAH PEMUKIMAN PADAT PERKOTAAN (Studi Kasus Daerah Perumahan Jatinegara, Jakarta)
Undergraduate Theses from JBPTITBPP / 2009-04-02 15:25:26
Oleh : MUHAMMAD ALI SURYO (NIM 17503008), S1 - Product Design Study Programme
Dibuat : 2008, dengan 7 file
Keyword : bencana banjur, sarana multifungsi
Oleh : MUHAMMAD ALI SURYO (NIM 17503008), S1 - Product Design Study Programme
Dibuat : 2008, dengan 7 file
Keyword : bencana banjur, sarana multifungsi
Saat ini Negara Indonesia banyak mengalami bencana alam, terutama kondisi bencana alam banjir. Hal ini saya ambil pada kasus banjir perkotaan seperti Jakarta dan sekitarnya bulan Februari 2007. Keadaan yang terjadi Jakarta terendam banjir, hampir 70% aktivitas kota lumpuh.
Dari jumlah kasus korban yang meninggal akibat banjir Februari 2007 yakni 66 orang, 3 terjadi pada tanggal 6 Februari dan yang signifikan terjadi pada tanggal 7 Februari yakni 41 orang, dua hari setelah terjadinya banjir di Jakarta tepatnya. Diantara banyaknya korban banjir tersebut dikarenakan lamanya proses evakuasi sehingga timbulnya berbagai macam penyakit.
Berbagai permasalahan dalam hal mengevakuasi warga berdasarkan data survei lapangan dan data Badan SAR Nasional (Basarnas) yaitu akses ke lokasi tempat banjir, masalah umur warga yang akan dievakuasi, hingga kendala permasalahan keterbatasan intelektual sumber daya manusia dalam menghadapi kondisi banjir yang terjadi secara cepat. Dari permasalahan yang dihadapi diatas maka sarana evakuasi alternatif berupa perahu evakuasi untuk korban bencana banjir yang berasal dari pemanfaatan limbah merupakan salah satu solusi pemecahan permasalahan bagi masyarakat yang tinggal di daerah pemukiman padat seperti di Jakarta.
1
Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi
Abstrak
Tujuan kajian ini adalah menghasilkan rekomendasi kebijakan tentang partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan banjir, berdasarkan survai, kajian literatur dan
wawancara singkat. Survai dan kajian literatur ditujukan kepada peraturan perundangan,
hasil kajian, dan kebijakan penanggulangan banjir yang sudah diterapkan, dan dokumen
kebijakan lainnya. Sedangkan wawancara singkat dan terarah dilakukan dengan unsurunsur
pemerintah (decision/ policy makers); kaum profesional (intermediaries);
masyarakat umum (beneficiaries).
Kajian dilaksanakan secara nasional dengan mengambil tiga kota kajian utama:
DKI Jakarta, Medan (Sumatera Utara), dan Surabaya (Jawa Timur). Sebagai pembanding,
dilakukan kajian di beberapa daerah, yaitu Padang (Sumatra Barat), Pontianak
(Kalimantan Barat), Bandung (Jawa Barat), Denpasar (Bali), Lombok (NTB), Makassar
(Sulawesi Selatan), dan Ambon. Lokasi ini dipilih atas pertimbangan kondisi dan
karakteristik daerah rawan banjir, yang dicirikan dengan perbedaan intensitas banjir,
jumlah dan kepadatan penduduk, serta keandalan data di wilayah studi.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah: (1) partisipasi masyarakat sebagai salah satu
stakeholder masih sangat kurang; (2) kebijakan pemerintah daerah tentang
penanggulangan bencana masih sangat terbatas; (3) peraturan perundang-undangan,
terutama di daerah, masih terbatas; (4) pendanaan penanggulangan bencana masih sangat
tergantung dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD).
Berdasarkan kajian ini direkomendasikan bahwa perlu ditetapkan lebih cermat
tingkat partisipasi pada setiap tahap kegiatan, sesuai dengan jenis kegiatan
penanggulangan banjir. Kemudian perumusan partisipasi masyarakat tidak dapat dilakukan
tanpa mencermati posisi dan urgensi stakeholder lainnya, seperti intermediaries dan
decision/policy maker.
1. LATAR BELAKANG
Di seluruh Indonesia, tercatat 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya berpotensi
menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup sungai-sungai induk ini mencapai
1,4 juta hektar. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, banjir yang melanda daerahdaerah
rawan, pada dasarnya disebabkan tiga hal. Pertama, kegiatan manusia yang
menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada perubahan alam.
Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut,
badai, dan sebagainya.1 Ketiga, degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup
tanah pada catchment area, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur
sungai dan sebagainya.
Banjir bukan hanya menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen
dan meluluhlantakkan perumahan dan permukiman, tetapi juga merusak fasilitas
pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik, bahkan menelan korban jiwa.
Kerugian semakin besar jika kegiatan ekonomi dan pemerintahan terganggunya, bahkan
terhentinya. Meskipun partisipasi masyarakat dalam rangka penanggulangan banjir sangat
nyata. terutama pada aktivitas tanggap darurat, namun banjir menyebabkan tambahan
beban keuangan negara, terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi parasana
publik yang rusak.
2
Terjadinya serangkaian banjir dalam waktu relatif pendek dan terulang tiap tahun,
menuntut upaya lebih besar mengantisipasinya, sehingga kerugian dapat diminimalkan.
Berbagai upaya pemerintah yang bersifat struktural (structural approach), ternyata belum
sepenuhnya mampu menanggulangi masalah banjir di Indonesia. Penanggulangan banjir,
selama ini lebih terfokus pada penyediaan bangunan fisik pengendali banjir untuk
mengurangi dampak bencana.
Selain itu, meskipun kebijakan non fisik --yang umumnya mencakup partisipasi
masyarakat-- dalam penanggulangan banjir sudah dibuat, namun belum diimplementasikan
secara baik, bahkan tidak sesuai kebutuhan masyarakat, sehingga efektifitasnya
dipertanyakan.
Kebijakan sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa melibatkan masyarakat sudah
tidak sesuai dengan perkembangan global yang menuntut desentralisasi, demokrasi, dan
partisipasi stakeholder, terutama masyarakat yang terkena bencana.2 Pertanyaannya adalah
siapa yang disebut masyarakat? Seberapa jauh masyarakat dapat berpartisipasi? Dan pada
tahapan mana masyarakat dapat berpartisipasi?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, harus menjadi pertimbangan dalam
merumuskan dan melaksanakan kebijakan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan
banjir. Kekeliruan perumusan kebijakan tersebut menyebabkan berbagai kepentingan
individu/kelompok lebih dominan, kemudian kebijakan dimanfaatkan untuk kepentingan
negatif.
Akibatnya kebijakan yang ditetapkan tidak efektif, bahkan batal. Dengan demikian,
penanggulangan banjir yang hanya melulu pembangunan fisik (structural approach), harus
disinergikan dengan pembangunan non fisik (non-structural approach), yang
menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya partisipasi masyarakat, sehingga hasilnya
lebih optimal.
Dari penjelasan di atas, maka kebijakan penanggulangan banjir yang bersifat fisik,
harus diimbangi dengan langkah-langkah non-fisik, sehingga peran masyarakat dan
stakeholder lainnya diberi tempat yang sesuai.
Agar penanggulangan banjir lebih integratif dan efektif, diperlukan tidak hanya
koordinasi di tingkat pelaksanaan, tetapi juga di tingkat perencanaan kebijakan, termasuk
partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya. Atas pertimbangan tersebut, sebagai
institusi yang ditugaskan mengkoordinasikan perencanaan pembangunan, Bappenas
mengkaji kebijakan penanggulangan banjir yang komprehensif dan tidak bias sektor dan
wilayah, dengan penekanan pada partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir.
2. TUJUAN
Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan tentang
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir, berdasarkan data yang diperoleh dari
survai dan kajian berbagai literatur. Keluaran yang diharapkan adalah gambaran mengenai
kebijakan dan regulasi yang telah ada. Kemudian rekomendasi kebijakan partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan banjir, sesuai tingkat keterlibatannya pada tiap tahapan
kegiatan, mulai dari penyusunan konsep kebijakan, hingga pelaksanaan dan evaluasi
kegiatan.
Kajian ini difokuskan pada aspek non teknis. Untuk mempertajam analisis, ruang
lingkup kajian ini dibatasi pada: (1) pengumpulan dan analisis data tentang kebijakan dan
regulasi di tingkat pusat dan beberapa daerah yang ditentukan; (2) analisis tingkat
partisipasi masyarakat berdasarkan tingkat ketertarikan, pengaruh, dan kepentingannya
dalam penanggulangan bencana banjir; (3) penyusunan rekomendasi kebijakan partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan banjir.
3
3. METODOLOGI
Kegiatan survai dan kajian literatur dilaksanakan dengan mengumpulkan data dan
informasi tentang peraturan perundangan, dokumen kebijakan lainnya, hasil kajian, dan
kebijakan penanggulangan banjir yang sudah diterapkan. Selain itu, dilakukan wawancara
singkat dan terarah dengan responden dari unsur-unsur: (1) pemerintah (decision/ policy
makers); (2) profesional (intermediaries); (3) masyarakat umum (beneficiaries).
Dari survai dan kajian literatur tersebut, diperoleh data tentang kebijakan dan
program penanggulangan banjir, peraturan perundangan terkait penanggulangan banjir,
kondisi satuan wilayah sungai, sistem pengelolaan sumberdaya air, kebijakan
penanggulangan banjir yang diterapkan, kendala dalam penanggulangan banjir, serta
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir, baik pada in-stream maupun offstream.
Hasil survai dan kajian literatur tersebut dipetakan ke dalam matriks kebijakan dan
regulasi dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir.
Kajian dilaksanakan secara nasional dengan mengambil tiga kota kajian utama
sebagai contoh, yaitu: DKI Jakarta, Medan (Sumatera Utara), dan Surabaya (Jawa Timur).
Selain itu, sebagai pembanding, dilakukan kajian di beberapa daerah, yaitu Padang
(Sumatra Barat), Pontianak (Kalimantan Barat), Bandung (Jawa Barat), Denpasar (Bali),
Lombok (NTB), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Ambon. Lokasi ini dipilih atas
pertimbangan kondisi dan karakteristik daerah rawan banjir, yang dicirikan dengan
perbedaan intensitas banjir, jumlah dan kepadatan penduduk, serta keandalan data di
wilayah studi.
3.1 KERANGKA ANALISIS
3.1.1 Siklus Penanggulangan Banjir
Penanggulangan banjir dilakukan secara bertahap, dari pencegahan sebelum banjir
(prevention), penanganan saat banjir (response/intervention), dan pemulihan setelah banjir
(recovery).3 Tahapan tersebut berada dalam suatu siklus kegiatan penanggulangan banjir
yang berkesinambungan, sebagaimana digambarkan pada Gambar 1 yang mencakup
beberapa jenis kegiatan seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.
Kegiatan penanggulangan banjir mengikuti suatu siklus (life cycle), yang dimulai
dari banjir, kemudian mengkajinya sebagai masukan untuk pencegahan (prevention)
sebelum bencana banjir terjadi kembali. Pencegahan dilakukan secara menyeluruh, berupa
kegiatan fisik seperti pembangunan pengendali banjir di wilayah sungai (in-stream) sampai
wilayah dataran banjir (off-stream), dan kegiatan non-fisik seperti pengelolaan tata guna
lahan sampai sistem peringatan dini bencana banjir.
4
Gambar 1.
Disaster Risk Management and MitigationCircle
CATASTROPHIC EVENT
(Sumber: Stephen Bieri, Disaster Risk Management & The System Approach,)
Tabel 1
Kegiatan dalam Siklus Penanggulangan Banjir
Siklus Kegiatan
• Upaya - upaya Struktural
- Upaya di dalam badan Sungai ( In-Stream)
- Upaya di luar badan Sungai ( Off- Stream)
• Upaya - upaya Non-Struktural
- Upaya Pencegahan Banjir Jangka Panjang
PENCEGAHAN
( Prevention)
- Upaya Pengelolaan Keadaan Darurat Banjir dalam
Jangka Pendek
• Pemberitahuan dan Penyebaran Informasi Prakiraan
Banjir
PENANGANAN
( Intervention/
Response) • Reaksi Cepat dan Bantuan Penanganan Darurat Banjir
• Perlawanan terhadap Banjir
• Bantuan Segera Kebutuhan Hidup Sehari-hari dan Perbaikan
Sarana dan Prasarana
- Pembersihan dan Rekonstruksi Pasca Banjir
- Rehabilitasi dan Pemulihan Kondisi Fisik dan Non-Fisik
• Penilaian Kerusakan/Kerugian dan Asuransi Bencana Banjir
PEMULIHAN
( Recovery)
• Kajian Penyebab Terjadinya Bencana Banjir
(Sumber: Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat – UI, Pengumpulan dan Analisis Data
Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia)
Setelah pencegahan dilaksanakan, dirancang pula tindakan penanganan
(response/intervention) pada saat bencana banjir terjadi. Tindakan penanganan bencana
banjir, antara lain pemberitahuan dan penyebaran informasi tentang prakiraan banjir (flood
forecasting information and dissemination), tanggap darurat, bantuan peralatan
perlengkapan logistik penanganan banjir (flood emergency response and assistance), dan
perlawanan terhadap banjir (flood fighting).
Pemulihan setelah banjir dilakukan sesegera mungkin, untuk mempercepat
perbaikan agar kondisi umum berjalan normal. Tindakan pemulihan, dilaksanakan mulai
dari bantuan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, perbaikan sarana-prasarana
(aftermath assistance and relief), rehabilitasi dan adaptasi kondisi fisik dan non-fisik (flood
5
adaptation and rehabilitation), penilaian kerugian materi dan non-materi, asuransi bencana
banjir (flood damage assessment and insurance), dan pengkajian cepat penyebab banjir
untuk masukan dalam tindakan pencegahan (flood quick reconnaissance study).
3.2. 2 Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan proses teknis untuk memberi kesempatan dan
wewenang lebih luas kepada masyarakat, agar masyarakat mampu memecahkan berbagai
persoalan bersama-sama. Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat
keikutsertaan (level of involvement) masyarakat dalam kegiatan tersebut. Partisipasi
masyarakat bertujuan untuk mencari solusi permasalahan lebih baik dalam suatu
komunitas, dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk memberi
kontribusi sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efisien, dan
berkelanjutan.
Stakeholder penanggulangan banjir secara umum dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu: (1) beneficiaries, masyarakat yang mendapat manfaat/dampak secara langsung
maupun tidak langsung; (2) intermediaries, kelompok masyarakat atau perseorangan yang
dapat memberi pertimbangan atau fasilitasi dalam penanggulangan banjir, antara lain:
konsultan, pakar, LSM, dan profesional di bidang SDA.; (3) decision/ policy makers,
lembaga/institusi yang berwenang mebuat keputusan dan landasan hukum, seperti lembaga
pemerintahan dan dewan sumberdaya air.
Sejalan dengan tuntutan masyarakat akan keterbukaan dalam program-program
pemerintah, maka akuntabilitas pemerintah dapat dinilai dari sejauh mana partisipasi
masyarakat dan pihak terkait (stakeholder) dalam program pembangunan. Partisipasi
masyarakat, mulai dari tahap kegiatan pembuatan konsep, konstruksi, operasionalpemeliharaan,
serta evaluasi dan pengawasan.
Penentuan dan pemilahan stakeholder dilakukan dengan metode Stakeholders
Analysis yang terdiri dari empat tahap yaitu: (1) identifikasi stakeholder; (2) penilaian
ketertarikan stakeholder terhadap kegiatan penanggulangan banjir; (3) penilaian tingkat
pengaruh dan kepentingan setiap stakeholder; (4) perumusan rencana strategi partisipasi
stakeholder dalam penanggulangan banjir pada setiap fase kegiatan.4
Semua proses dilakukan dengan mempromosikan kegiatan pembelajaran dan
peningkatan potensi masyarakat, agar secara aktif berpartisipasi, serta menyediakan
kesempatan untuk ikut ambil bagian, dan memiliki kewenangan dalam proses pengambilan
keputusan dan alokasi sumber daya dalam kegiatan penanggulangan banjir.
Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan penanggulangan banjir terdiri dari
tujuh tingkat yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (1) penolakan
(resistance/opposition); (2) pertukaran informasi (information-sharing); (3) konsultasi
(consultation with no commitment); (4) konsensus dan pengambilan kesepakatan bersama
(concensus building and agreement); (5) kolaborasi (collaboration); (6) pemberdayaan
dengan pembagian risiko (empowerment-risk sharing); (7) pemberdayaan dan kemitraan
(empowerment and partnership).5
3.1.3 Jenis Kebijakan/Kegiatan
Jenis dan tingkat partisipasi masyarakat akan berbeda, tergantung pada jenis
kebijakan atau kegiatan. Untuk memudahkan identifikasi jenis dan tingkat partisipasi
masyarakat dalam kebijakan atau kegiatan, Bank Dunia memperkenalkan social assessment
yang umumnya mengelompokkan empat jenis kebijakan atau kegiatan berdasarkan
karakteristik hasil dan dampak sosialnya, yaitu: (1) indirect social benefits and direct social
costs; (2) significant uncertainty or risks; (3) large number of beneficiaries and few social
cost; dan (4) targeted assistance.6
6
Indirect benefits, direct social cost, kebijakan atau kegiatan yang memberi manfaat
tidak langsung kepada masyarakat, tetapi menimbulkan biaya sosial. Contohnya, antara
lain pembangunan insfrastruktur, keanekaragaman hayati, structural adjustment, dan
privatisasi.
Significant uncertainty or risk, kebijakan untuk menyelesaikan masalah yang
bentuk penyelesaiannya belum jelas dan tidak cukup tersedia informasi serta komitmen dari
kelompok sasaran. Contohnya, antara lain intervensi/ pembangunan wilayah pasca konflik.
Large number of beneficiaries and few social cost, kebijakan atau kegiatan yang
jumlah penerima manfaat atau dampaknya sangat besar, tetapi hanya sedikit menimbulkan
biaya sosial. Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan kesehatan, pendidikan,
penyuluhan pertanian, dan desentralisasi.
Targeted assistance, kebijakan atau kegiatan yang kelompok dan jumlah penerima
manfaat atau dampaknya telah terdefinisikan secara jelas. Contoh kegiatan ini antara lain
penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah, penanganan pengungsi, reformasi
kelembagaan (institutional reform), dan korban bencana alam.
3.2 DATA
Hasil survai menjaring informasi tentang penyebab banjir, besarnya kerugian,
kebijakan dan program penanggulangan, kendala yang dihadapi, serta partisipasi
masyarakat; baik pada periode pra bencana, ketika terjadi bencana, maupun setelah
bencana.
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, sedangkan wawancara dilakukan
dengan beberapa stakeholder dari unsur decision/policy maker di tingkat propinsi, terutama
dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dinas yang menangani
infrastruktur wilayah, dinas yang menangani masalah sosial, Satkorlak Penanggulangan
Bencana dan Pengungsi (Satkorlak PBP), Pelaksana Proyek Pengendalian Banjir. Dari
unsur intermediaries, wawancara dilakukan dengan pakar dari perguruan tinggi,
profesional dan pemerhati bidang sumberdaya air, serta lembaga swadaya masyarakat yang
peduli terhadap masalah banjir. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan masyarakat
setempat.
4. HASIL KAJIAN
4.1. Temuan Hasil Survai dan Penelusuran Data Sekunder
Dari penelusuran data ditemukan, baik di daerah kajian utama atau daerah
pembanding penyebab banjir relatif sama, meskipun dengan intensitas berbeda, yaitu: (1)
curah hujan tinggi; (2) jumlah dan kepadatan penduduk tinggi; (3) pengembangan kota
yang tidak terkendali, tidak sesuai tata ruang daerah, dan tidak berwawasan lingkungan
sehingga menyebabkan berkurangnya daerah resapan dan penampungan air; (4) drainase
kota yang tidak memadai akibat sistem drainase yang kurang tepat, kurangnya prasarana
darinase, dan kurangnya pemeliharaan; (5) luapan beberapa sungai besar yang mengalir ke
tengah kota; (6) kerusakan lingkungan pada daerah hulu; (7) kondisi pasang air laut pada
saat hujan sehingga mengakibatkan backwater; (8) berkurangnya kapasitas pengaliran
sungai akibat penyempitan sungai, penggunaan lahan illegal di bantaran sungai; (9) kurang
lancar hingga macetnya aliran sungai karena tumpukan sampah; serta (10) ketidakjelasan
status dan fungsi saluran.
Kerugian akibat banjir yang melanda berbagai kota dan wilayah, antara lain
meliputi: (1) korban manusia; (2) kehilangan harta benda; (3) kerusakan rumah penduduk;
sekolah dan bangunan sosial, prasarana jalan, jembatan, bandar udara, tanggul sungai,
jaringan irigasi, dan prasarana publik lainnya; (4) terganggunya transportasi, serta; (5)
rusak hingga hilangnya lahan budidaya seperti sawah, tambak, dan kolam ikan.
7
Di samping kerugian yang bersifat material, banjir juga membawa kerugian non
material, antara lain kerawanan sosial, wabah penyakit, menurunnya kenyamanan
lingkungan, serta menurunnya kesejahteraan masyarakat akibat kegiatan perekonomian
mereka terhambat.
Dalam rangka mengurangi dampak banjir, telah disusun berbagai kebijakan dan
program penanggulangan, baik yang bersifat prevention, intervention maupun recovery.
Pada tahap pra bencana dilakukan: (1) membuat peta rawan bencana; (2) membangun,
meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai, tampungan air, dan
drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya; (3) menyusun peraturan dan
menertibkan daerah bantaran sungai; (4) membuat peta daerah genangan banjir; (5)
sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir; (6) menegakkan hukum
terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai; (7) menyediakan cadangan pangan
dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya; (8) membuat sumur resapan; (9)
pemantapan Satkorlak PBP; (10) merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara
terkoordinasi dan terintegrasi; (11) mengendalikan perkembangan lingkungan dan
pengembangan daerah hulu; (12) membuat penampungan air berteknologi tinggi; (13)
menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah sungai (SWS) dan
memberdayakan kelembagaan pengelolaan SWS; (14) membangun fasilitas pengolah
limbah dan sampah; (15) mereboisasi kota dan daerah hulu; (16) mendirikan Posko banjir
di wilayah RT/ RW.
Kebijakan dan program pada tahapan ketika terjadi bencana, berupa: (1)
pemberitahuan dini kepada masyarakat tentang kondisi cuaca; (2) menempatkan petugas
pada pos-pos pengamatan; (3) menyiapkan sarana penanggulangan, termasuk bahan
banjiran; (4) mengevakuasi dan mengungsikan penduduk ke daerah aman, sesuai yang
telah direncanakan dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri,
Satlak PBP, Satkorlak PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan Karang Taruna; (5)
memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya, serta pelayanan
kesehatan darurat kepada korban bencana; (6) mendata lokasi dan jumlah korban bencana.
Pada tahap setelah banjir, kebijakan dan program yang telah dilakukan di daerah
studi umumnya masih bersifat fisik, sedangkan yang bersifat non fisik masih belum
ditemui. Program dan kegiatan fisik yang telah dilakukan adalah: (1) pendataan kerusakan
bangunan dan fasilitas publik; (2) memperbaiki prasarana publik yang rusak; (3)
pembersihan lingkungan; (4) mengajukan usulan pembiayaan program pembangunan
fasilitas penanggulangan banjir.
Sementara itu, belum semua pemerintah daerah melakukan penegakan hukum,
sehubungan dengan penanggulangan banjir. Jika ada, maka penegakan hukum tersebut
terbatas pada penertiban penggunaan lahan secara illegal.
Dalam hal ketersediaan landasan hukum, hampir semua pemerintah daerah (Pemda)
belum mempunyai peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan banjir dan hanya
beberapa propinsi saja yang sedang mempersiapkannya. Sementara itu pemerintah daerah
hanya memiliki Perda yang mengatur pengelolaan sungai dan tata ruang.
Upaya pemerintah daerah mengendalikan banjir banyak menemui kendala, antara
lain lantaran: (1) kurangnya kepedulian masyarakat menjaga lingkungan; (2) kurangnya
kesadaran masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku dan menjaga kebersihan
lingkungan; (3) kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan cenderung tergantung pada
bantuan pemerintah; (4) peraturan daerah masih sangat terbatas; (5) lemahnya penegakan
hukum; (6) kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah; (7) terbatasnya dana
pemerintah.
Upaya penanggulangan banjir tidak terlepas dari peran stakeholder dalam setiap
kegiatan. Dari hasil survai diketahui bahwa secara umum peran stakeholder, terutama
8
penerima dampak bencana (beneficiaries), masih terbatas dan peran pemerintah masih
sangat dominan.
Pada tahap pra bencana, partisipasi masyarakat berupa keikutsertaan mereka dalam
berbagai kegiatan, seperti sosialisasi berbagai peraturan, membangun atau membersihkan
saluran drainase lingkungan secara swadaya, memprakarsai lomba kebersihan, menjaga dan
memantau kondisi lingkungan. Di samping itu aspirasi masyarakat belum dikelola dalam
bentuk kelompok/organisasi kemasyarakatan, namun hanya memanfaatkan kelembagaan
RT/RW.
Pada saat bencana, terjadi kerjasama yang baik dalam pengevakuasian korban,
pembagian makanan, pakaian, dan penyediaan obat-obatan. Partisipasi masyarakat seperti
ini muncul secara spontan sebagai bentuk kepedulian sosial sesama masyarakat, tanpa
diupayakan pemerintah. Dengan belum tersedianya peraturan perundangan yang mengatur
penanggulangan banjir, maka pengaturan partisipasi masyarakat juga belum diatur.
Pada semua daerah survai, pendanaan program penanggulangan banjir sebagian
besar sangat tergantung pada pemerintah. Optimalisasi sumber pendanaan masyarakat,
meskipun potensinya cukup besar, belum dikelola secara baik, melainkan hanya mencakup
pembiayaan bantuan spontan yang bersifat charity dan perbaikan kecil prasarana
lingkungan secara swadaya.
Di sisi lain, swasta juga mulai ikut berpartisipasi menjaga kebersihan sungai
melalui penyediaan dana pengelolaan, namun belum diimplementasikan di semua kota
lokasi survai.
4.2 ANALISIS
Secara umum penyebab utama banjir adalah perubahan dan eskalasi perilaku
manusia dalam mengubah fungsi lingkungan. Di kawasan budidaya telah terjadi perubahan
tata ruang secara massive, sehingga daya dukung lingkungan menurun drastis. Pesatnya
pertumbuhan permukiman dan industri telah mengubah keseimbangan fungsi lingkungan,
bahkan kawasan retensi banjir (retarding basin) yang disediakan alam berupa situ-situ telah
juga dihabiskan.
Keadaan ini secara signifikan menurunkan kapasitas penyerapan air secara drastis.
Kondisi ini diperparah dengan sistem drainase permukiman yang kurang memadai,
sehingga pada curah hujan tertentu, menimbulkan genangan air di mana-mana.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum ikut mendorong tumbuh dan
berkembangnya permukiman ilegal di bantaran sungai, bahkan masuk ke badan sungai.
Keadaan ini makin memperburuk sistem tata air lingkungan, karena kapasitas tampung dan
pengaliran sungai menurun dan terjadilah luapan air.
Penambangan pasir illegal, terutama pada areal-areal bangunan pengendali banjir,
yang umumnya mudah diakses juga ikut memperparah keadaan. Sebab, kemampuan
bangunan pengendali banjir menjadi turun.
Di sisi lain, ternyata pada wilayah-wilayah kajian, secara umum belum ada
implementasi kebijakan efektif untuk mengendalikan penggundulan hutan dan perubahan
fungsi ruang di daerah hulu. Aktivitas dan perubahan ini makin meningkatkan debit air
yang masuk langsung dan secara cepat ke badan sungai, dan pada akhirnya karena
kapasitas tampung dan pengaliran sungai telah menurun, meluaplah air sungai ke kawasankawasan
permukiman, persawahan, dan pertambakan serta kawasan industri.
Meski demikian, secara umum hasil survai menunjukkan bahwa tidak ada landasan
hukum spesifik yang mengatur penanggulangan banjir, apalagi pengaturan partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan banjir. Namun ada temuan yang menggembirakan,
yaitu partisipasi masyarakat sangat kentara dan dominan, terutama pada kegiatan tanggap
darurat. Bahkan bersama-sama dengan kelompok stakeholder dari unsur intermediaries,
9
mereka membentuk “gugus tugas reaksi cepat” yang secara mandiri dan tanpa intervensi
pemerintah, mampu memberi bantuan darurat bagi para korban banjir.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat lebih didorong oleh
semangat kesetiakawanan dalam bermasyarakat, bukan merupakan resultant upaya
pemerintah untuk menggalangnya.
Mencermati partisipasi masyarakat pada tahap siklus banjir, ternyata tidak dapat
disamaratakan. Pada tahap tertentu partisipasinya sangat besar dan begitu dominan.
Sementara pada tahap lain sulit ditemukan, bahkan tidak ada. Perlu dianalisis lebih jauh
untuk menemukenali jenis dan tingkat partisipasi masyarakat pada kelompok-kelompok
kegiatan penanggulangan banjir.
Analisis stakeholder memberi gambaran bahwa tidak semua unsur stakeholder
(beneficiaries, intermediaris, dan decision/policy maker) mempunyai peran dan pengaruh
yang sama pada tiap tahap penanggulangan banjir. Demikian juga masing-masing
karakteristik/jenis kegiatan penanggulangan banjir, memerlukan jenis dan tingkat
partisipasi yang berbeda.
Mengikuti pengelompokkan kegiatan yang diperkenalkan Bank Dunia7, maka
dalam penanggulangan banjir ditemukan tiga jenis kebijakan/kegiatan yaitu: (1) indirect
benefits, direct social cost; (2) large number of beneficiaries and few social cost; (3)
targeted assistance.
Kegiatan berciri indirect benefits, direct social cost dikenali pada kelompok
kegiatan struktural di luar badan air (off-stream structural measures) yang meliputi
kegiatan-kegiatan peningkatan dan pembangunan sistem drainase, pembangunan
parasarana retensi air (retention facilities), pembangunan sistem serapan air, pembangunan
sistem polder, dan penanganan masalah erosi dan kemiringan tebing.
Kegiatan berciri large number of beneficiaries and few social cost terdapat pada
kelompok kegiatan non-struktural jangka panjang (long term flood prevention nonstructural
measures) yang mencakup kegiatan-kegiatan pengaturan dataran banjir
(floodplain), pengendalian penggunaan lahan di luar dataran banjir, kebijakan penyediaan
ruang terbuka (open space reservastion), kebijakan sarana dan pelayanan umum, pedoman
pengelolaan air permukaan, serta pendidikan dan informasi kepada masyarakat.
Kegiatan berciri targeted assistance ditemukan pada kelompok kegiatan manajemen
darurat banjir jangka pendek (short term flood emergency management) khususnya pada
kegiatan-kegiatan pre-flood preparation, yang terdiri dari kegiatan pemetaan wilayah
terkena banjir, penyimpanan bahan penahan banjir, antara lain karung pasir dan bronjong
kawat, identifikasi lokasi dan pengaturan pemanfaatan peralatan yang diperlukan,
pemeriksaan dan perawatan peralatan dan bangunan pengendali banjir, dan penentuan dan
pengaturan lokasi dan barak-barak pengungsian.
4.2.1 Kelompok Kegiatan Struktural di Luar Badan Air (off-stream structural
measures)
Pada kelompok kegiatan ini, di tahap penyusunan konsep, sudah tersedia kebijakan
nasional dan kebijakan daerah yang bersifat umum. Kebijakan ini dapat dijadikan acuan
menyusun konsep pembangunan fisik di luar badan air, baik berupa undang-undang,
peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah.
Pada implementasinya di lapangan, teridentifikasi cukup banyak kegiatan-kegiatan
kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat, dalam mengidentifikasi masalah
drainase, hingga penyusunan konsep partisipasi masyarakat dalam skema pembiayaan
pemeliharaan saluran drainase.
Pada tahap pembangunan/konstruksi, tidak teridentifikasi kebijakan/perundangan
yang berlaku spesifik, walaupun pada dasarnya masih dapat digunakan kebijakan umum
10
yang sudah ada. Dalam implementasinya, tidak teridentifikasi partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaan konstruksi dan umumnya dilaksanakan penyedia jasa konstruksi.
Meskipun dalam kebijakan dan peraturan perundangan tidak ditemukan dasar yang
jelas, namun partisipasi masyarakat ditemukan dalam pembiayaan tahap operasionalisasi
prasarana. Pada tahap monitoring dan evaluasi, hanya teridentifikasi peran pemerintah
daerah yang memonitor dan mengevaluasi prasarana off-stream structural measure;
sedangkan partisipasi masyarakat secara langsung tidak ditemukan.
Temuan-temuan tersebut menegaskan masih lemahnya dukungan aspek legal untuk
mengakomodasi dan merekognisi peranserta masyarakat dalam kelompok kegiatan offstream
structural measure yang berciri indirect benefits, direct social cost.
Dengan ciri kegiatan yang biaya sosialnya dapat dirasakan langsung, seharusnya
diperlukan upaya mengakomodasi dan merekognisi kepentingan pihak-pihak yang
mungkin dirugikan (yang terkena adverse impact), misalnya masyarakat yang terkena
penggusuran, karena pembangunan inftastruktur pengendali banjir.
Pengaturan ini sangat penting untuk meminimalisasi dampak negatif (adverse
impact) yang dapat mempengaruhi kelancaran proses penanggulangan banjir. Selain itu,
prosedur keterlibatan masyarakat harus lebih spesifik dikembangkan. Isu penting dalam
hal ini adalah skema pembiayaan, maupun sistem ganti rugi melalui subsidi yang harus
diatur secara jelas dan adil.
Tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini, dalam kondisi ideal adalah
collaboration (skala ke 4 dari skala 0-6) terutama untuk tahapan konsep dan implementasi;
sedang untuk tahapan kontruksi mencapai skala ke 3 dari skala 0-6 atau pada tataran
concensus building and agreement.
4.2.2 Kelompok Kegiatan Non-Struktural Jangka Panjang (long term flood prevention
non structural measures)
Pada kelompok kegiatan ini, di tahap penyusunan konsep, cukup banyak kebijakan
nasional yang dapat diidentifikasi. Umumnya kebijakan ini hanya menekankan pada
floodplain regulation, terutama pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW), aturan pengelolaan dan pemanfaatan sungai, dan Perda yang
berkaitan dengan tata ruang dan pemanfaatan sumberdaya air.
Pada tahap pengembangan konsep, belum banyak kegiatan yang berkaitan dengan
floodplain regulation. Umumnya kegiatan ini masih berupa konsep yang tertuang dalam
bentuk master plan pengelolaan sumberdaya air yang belum mampu dilaksanakan, karena
keterbatasan dana dan sumberdaya manusia.
Kegiatan konsultasi publik dan penyuluhan ditemukan pada tahapan implementasi
merupakan bentuk dari public information and education yang merupakan tahap lanjutan
dari implementasi floodplain regulation.
Monitoring dan evaluasi terhadap floodplain regulation hanya dilakukan pengelola
sungai dan Pemda. Mereka menindak dengan menggusur pemukim ilegal pada bantaran
dan badan sungai. Meskipun penduduk daerah rawan banjir, pemuka masyarakat dan
agama, profesional/ahli, LSM, dan media massa dapat melakukan monitoring dan evaluasi,
namun belum ada regulasi yang tegas mengatur hal ini.
Dengan ciri kegiatan yang jumlah beneficiaries-nya banyak dan kepentingan yang
berbeda-beda, serta biaya sosial yang rendah, maka dalam penyusunan regulasi, pemerintah
sebagai fasilitator harus mampu menjembatani berbagai kepentingan tersebut dengan
secermat mungkin mengidentifikasi stakeholder utama dan menyusun skema birokrasi
yang sesuai dan efektif, serta perencanaan pelaksanaan yang terintegrasi dan terkoordinasi.
Tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini dalam kondisi ideal adalah
empowerment-risk sharing (skala ke 5 dari skala 0-6) untuk tahapan pengembangan dan
11
tahapan evaluasi; pada skala ke 4 dari skala 0-6 atau pada tataran collaboration untuk
tahapan konsep; dan pada tahapan implementasi mencapai skala ke 1 dari skala 0-6 atau
pada tataran information-sharing. Dengan demikian menerapkan floodplain regulation
secara utuh, pemerintah harus berperan lebih banyak, sebab tidak ada stakeholder lain
yang mempunyai kekuatan hukum untuk menindak pelanggaran suatu regulasi.
4.2.3 Kelompok Kegiatan Manajemen Darurat Banjir Jangka Pendek (short term
flood emergency management)
Dalam kelompok kegiatan penanganan darurat banjir, terutama pada kegiatan
persiapan menghadapi banjir (pre-flood prevention), di tahap penyusunan konsep terdapat
cukup banyak aspek legal yang bisa dijadikan acuan, namun belum banyak yang secara
spesifik mengakomodasi partisipasi masyarakat.
Seperti pada tahap penyusunan konsep, dalam tahap pengembangan juga sudah
terdapat peraturan daerah yang mengatur pengembangan peta daerah rawan banjir dan
penetapan daerah alternatif pengungsian korban bencana dan pengadaan sarana
perhubungan di daerah yang terkena bencana. Namun pada tahapan ini, di lapangan tidak
teridentifikasi partisipasi masyarakat dan segala persiapan untuk menghadapi banjir
dilakukan instansi pemerintah.
Pada tahap implementasi persiapan menghadapi banjir, partisipasi masyarakat tidak
teridentifikasi secara spesifik. Sedang instansi pemerintah atau institusi pengelola sungai
melakukan hampir semua kegiatan.8 Pada tahap terakhir dalam kelompok kegiatan ini,
tidak teridentifikasi kegiatan monitoring dan evaluasi persiapan menghadapi banjir yang
melibatkan masyarakat secara langsung.
Dengan ciri kegiatan yang beneficiaries-nya sudah teridentifikasi secara jelas,
maka masyarakat yang secara langsung terkena bencana banjir harus mendapatkan
perhatian utama. Dalam hal ini pemerintah harus memfasilitasi, sehingga kelompok
masyarakat ini mempunyai akses terhadap kegiatan yang memungkinkan mereka
menghindari bencana, atau paling tidak mengurangi kerugian (materi) akibat bencana
banjir.
Di samping itu, perlu disusun kebijakan yang memprioritaskan peningkatan
kapasitas sumber daya manusia kelompok masyarakat tersebut, sehingga dalam
perencanaan kegiatan penanggulangan bencana banjir, kelompok ini dapat
menyumbangkan pemikiran mereka lebih mendalam.
Dari hasil analisis, tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini dalam
kondisi ideal adalah collaboration (skala ke 4 dari skala 0-6) untuk tahapan konsep sampai
dengan implementasi; sedangkan untuk tahapan evaluasi pada skala ke 6 pada skala 0-6
atau pada tataran empowerment and partnership.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah
menggunakan kerangka teori sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka kesimpulannya
sebagai berikut :
1. Partisipasi masyarakat sebagai salah satu stakeholder masih sangat kurang. Peran
pemerintah masih sangat dominan pada setiap tahap bencana. Partisipasi masyarakat
yang merupakan critical player pada tahap sebelum bencana, memiliki pengaruh
sangat kecil dalam proses dan implementasi kebijakan. Tingkat partisipasi terbaik yang
terjadi baru pada tingkat consultation. Pada beberapa kegiatan masih pada tingkat
information. Di tahap ini masyarakat masih sebagai obyek program/kegiatan
pemerintah. Partisipasi telah dimulai pada tingkat partnership pada lingkup lingkungan
12
setempat yang dilaksanakan secara spontan. Kegiatan tanggap darurat, di saat bencana
banjir datang, partisipasi masyarakat seimbang dengan stakeholder lainnya. Tingkat
partisipasi yang dicapai adalah partnership, baik secara individu maupun kelompok
organisasi sosial. Pada tahapan rehabilitasi setelah bencana, pemerintah kembali
dominan, terutama dalam kegiatan fisik. Partisipasi masyarakat hanya sebatas
consultation. Tingkat partisipasi risk sharing dan partnership dilakukan lingkup
lingkungan setempat.
2. Kebijakan pemerintah daerah tentang penanggulangan bencana masih sangat terbatas.
Peraturan daerah yang sudah tersedia terbatas pada kegiatan prevention. Sedangkan
kebijakan pada saat bencana menggunakan pedoman-pedoman yang dikeluarkan
pemerintah pusat, dan belum berbentuk peraturan daerah. Demikian halnya pada
tahapan rehabilitasi pasca bencana.
3. Peraturan perundangan, terutama di daerah masih terbatas. Dengan demikian
penegakan hukum juga belum banyak dilakukan. Penegakan hukum hanya dilakukan
pada penggunaan lahan secara ilegal dan pelanggaran garis sempadan sungai.
4. Pendanaan penanggulangan bencana masih sangat tergantung dari APBN dan APBD
Propinsi maupun Kabupaten/Kota, terutama pada tahap prevention dan rehabilitation.
Sumber pendanaan dari masyarakat sebagai langkah spontanitas kemanusiaan sudah
berkembang di tahap tanggap darurat (intervention). Prakarsa swasta dalam
pembiayaan program penanggulangan banjir (pada tahapan prevention) sudah dimulai
di beberapa daerah.
5.2 REKOMENDASI
Dalam rangka menyusun rekomendasi kebijakan partisipasi masyarakat dalam
kegiatan penanggulangan banjir, perlu ditetapkan lebih cermat tingkat partisipasi pada
setiap tahap kegiatan, sesuai dengan jenis kegiatan penanggulangan banjir. Untuk
merumuskan strategi partisipasi, juga diperlukan pengelompokan kegiatan
penanggulangan banjir atas dasar: (1) besarnya dampak langsung maupun tidak langsung
yang akan diterima masyarakat; (2) jumlah dan keragaman penerima dampak kegiatan; (3)
intensitas biaya sosial dari suatu kegiatan yang akan diterima oleh masyarakat.
Perumusan partisipasi masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa mencermati posisi
dan urgensi stakeholder lainnya, seperti intermediaries dan decision/policy maker. Dari
sudut pandang tingkat partisipasi stakeholder, ada batasan bahwa tidak semua kegiatan
penanggulangan banjir dapat dilakukan oleh seluruh stakeholder sampai ke tingkat
empowerment. Semakin banyak pihak yang terlibat, akan terlalu banyak kepentingan yang
harus diakomodasi dan terlalu banyak jalur birokrasi antarsektor, sehingga proses
koordinasi lintas sektor dan pelaksanaan kegiatan (development) sangat mungkin menjadi
terhambat, bahkan batal. Dengan demikian tingkat ketertarikan (interest), pengaruh
(influence), dan kepentingan (importance) setiap stakeholder harus diidentifikasi lebih
dahulu agar bisa ditentukan sejauh mana stakeholder tersebut dilibatkan.
13
Gambar 2
Bagan Kerangka Penanganan Kegiatan Struktural di Luar Badan Air (Offstream
Structural Measures)
Penanganan untuk kelompok kegiatan struktural di luar badan air (off-stream
structural measures) yang berciri indirect benefits, direct social cost dapat dilakukan
dengan kerangka sebagaimana pada gambar 2. Kegiatan pembangunan struktural di luar
badan air ini pertama-tama dilaksanakan oleh ahli, akademisi, dan profesional dengan
menggunakan beberapa alternatif teknologi dan dengan mempertimbangkan desain elemen
untuk mencari alternatif watershed management approach dan alternatif skema
pembiayaan makro dan mikro.
Penentuan alternatif-alternatif tersebut harus tetap sesuai dengan Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Rencana Umum Tata Ruang / Rencana Tata
Ruang Wilayah dan Master Plan dan Pedoman Pemanfaatan Air Permukaan yang berlaku.
Berdasarkan alternatif yang telah dirumuskan, dilakukan sosialisasi kepada
advisory group (masyarakat hulu, penggarap lahan, masyarakat di lingkungan situ, petugas
saluran drainase, penduduk daerah rawan banjir) untuk ditentukan alternatif yang dipilih.
Selanjutnya pilihan alternatif tersebut dilegalkan dengan menerbitkan peraturan
perundangan yang pelaksanaannya dapat dilakukan melalui dua konstruksi, yaitu
konstruksi dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang diawasi unit/instansi pengawas; atau
pelaksanaan konstruksi oleh masyarakat dengan pembiayaan, konsultasi, dan bimbingan
teknis dari pemerintah.
Pada masa pasca konstruksi, pelaksanaan operasi dan pemeliharaan (OP) perlu
diawasi secara teknis, baik dari pihak internal maupun eksternal. Selain itu perlu ada
bimbingan skema pembiayaan OP jika dilaksanakan oleh masyarakat. Untuk
Masyarakat Hulu
Alternatif
Teknologi
Desain
Elemen
- UU, PP, Perda
- RUTR/RTRW
- Master plan dan Pedoman
Pemanfaatan Air Permukaan
- Alternatif Watershead
Management Approach
- Alternatif Skema Pembiayaan
Professional, Makro & Mikro
Ahli, Akademisi
Advisory Group
(Masyarakat Hulu, Penggarap
Lahan, Masyarakat Lingkungan
Situ, Petugas Saluran Drainase
Penduduk daerah rawan banjir,
dst…)
Sosialisasi
Pilihan
Penerbitan peraturan
perundangan
Konstruksi oleh
Pemda
Konstruksi oleh
Masyarakat
Pengawasan
Inspektorat
Konsultasi Pembiayaan
Bimbingan Teknis Pemerintah
Operasi dan
Pemeliharaan
Monitoring dan
Evaluasi
Inspeksi Teknis oleh pihak internal dan eksternal
Bimbingan Skema Biaya OP
14
mengoptimalkan pemanfaatan prasarana tersebut maka dilakukan monitoring dan evaluasi
guna memberi masukan untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan.
Adapun penanganan kelompok kegiatan non-struktural jangka panjang (long term
flood prevention non-structural measures) yang berciri large number of beneficiaries and
few social cost dapat dilakukan dengan kerangka sebagaimana pada gambar 3.
Gambar 3.
Bagan Kerangka Penanganan Kegiatan Non-Struktural Jangka Panjang
(Long Term Flood Prevention Non-Structural Measures)
Berdasarkan hasil inventarisasi kepemilikan dan pemanfaatan lahan, rencana umum
tata ruang, rencana tata ruang wilayah, dan masukan dari masyarakat daerah maka disusun
konsep Term of Reference (TOR) tentang rancangan floodplain regulation. Kemudian
melalui mekanisme diskusi antara decision maker, advisory group, dan technical team
dilakukan pengembangan rancangan floodplain regulation (FPR) dan dilanjutkan dengan
pengesahan FPR dan penyusunan rancangan action plan. Proses selanjutnya adalah
pelaksanaan diseminasi FPR dan rancangan action plan. Untuk menjamin optimalisasi
pelaksanaannya, maka dilakukan monitoring dan evaluasi.
Penanganan kelompok kegiatan manajemen darurat banjir jangka pendek (short
term flood emergency management) yang berciri targeted assistance dapat dilakukan
dengan kerangka sebagaimana pada gambar 4.
Inventarisasi
Kepemilikan dan
Pemanfaatan
�� RUTR
�� RTRW
Masukan dari
masyarakat
daerah
Menyusun
konsep TOR
Rancangan
Floodplain
Regulator (FPR)
Pengembangan
Rancangan FPR
DM AG
TT
Pengesahan
FPR
Rancangan
Rencana Aksi
Aksi :
• Pengendalian
pemanfaatan lahan
diluar daerah rawan
banjir
• Reservasi tanah untuk
rekreasi dan
penggunaan lainnya
Aksi :
• Panduan pengelolaan
air permukaan
• Informasi dan
pendidikan kepada
masyarakat
Konsep FPR
hasil revisi
Diseminasi Aksi Monitoring Evaluasi
diskusi
Keterangan :
• DM = Decision
Maker
• AG = Advissory
Group
• TT = Technical
Team
• FPR = Floodplain
Regulation
15
Gambar 4.
Bagan Kerangka Penanganan Kegiatan Manajemen Darurat Banjir Jangka
Pendek (Short term Flood Emergency Management)
Berawal dari kasus banjir, selain mengambil langkah penanggulangan dan tindakan
terhadap masyarakat yang terkena banjir, pemerintah perlu melakukan review kasus untuk
mengidentifikasikan penyebab, penentuan daerah banjir, jumlah kerugian, dan korban.
Berdasarkan dua kegiatan tersebut, pemerintah membuat rencana penanggulangan bencana
banjir jangka panjang dan rencana manajemen darurat banjir untuk persiapan menghadapi
banjir, yang meliputi: (1) pemetaan daerah banjir; (2) stockpiling material; (3) identifikasi
lokasi dan penggunaan perlengkapan flood-fighting; (4) pemeriksaan fasilitas pengendalian
banjir; dan (5) persiapan penampungan pengungsi korban banjir. Hal ini dapat digunakan
untuk menghadapi banjir berikutnya serta guna mengurangi jumlah korban dan kerugian.
* * *
CATATAN BELAKANG
1 Indonesia merupakan wilayah bercurah hujan tinggi, sekitar 2.000-3.000 milimeter
setahun. Apabila suatu saat curah hujan melebihi kisaran (range) tersebut, maka banjir
sulit dielakkan, sebagaimana terjadi ketika banjir Jakarta tahun 2002.
2 Stakeholder didefinisikan sebagai masyarakat, komunitas, atau institusi yang memiliki
kecenderungan untuk dipengaruhi intervensi yang diajukan (baik negatif maupun positif),
atau yang dapat mempengaruhi hasil intervensi tersebut.
16
3 Banjir merupakan kejadian genangan sementara yang alami terjadi pada dataran banjir
(floodplain), ketika air hujan jatuh melimpas menjadi aliran permukaan dan menimbulkan
kerugian materi maupun non-materi.
4 Rietbergen-McCracken, Jennifer dan Deepa Narayan, 1998. Participation and Social
Assesment: Tools and Techniques. Washington D.C. : The World Bank.
5 Dikompilasi dari The World Bank and Participation: The World Bank-Operations
Policy Department (1994) dan Zonneveld, Luuk, A Toolkit for Participation in Local
Governance: Learning to make participation work. Oxfam/Novib (Maret 2001).
6 Opcit. Social assessment dilakukan untuk mengumpulkan informasi sosial, memahami
public value, mengetahui risiko, serta menentukan prioritas, perhatian, dan sumberdaya
yang dibutuhkan dalam melaksanakan suatu kebijakan atau kegiatan.
7 Lihat Rietbergen-McCracken, Jennifer dan Deepa Narayan (1998) halaman 25.
8 Sebagai gambaran umum, semua kegiatan telah dilaksanakan sendiri oleh unsur
pemerintah dapat dicermati contoh antara lain: (1) Perum Jasa Tirta menginventarisasi dan
membuat peta daerah rawan banjir di DPS Kali Brantas; (2) Tim Satgas Banjir di wilayah
Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai (PI-PWS) Jeneberang, melakukan
persiapan/pengadaan dan penyimpanan bahan banjiran (bronjong kawat, batu, karung
plastik, pasir, dolken, dll) dan peralatan yang akan dipergunakan dalam upaya
menanggulangi bencana banjir.
17
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan dan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 tahun 1974, Tentang Pengairan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 1992, Tentang Penataan Ruang
Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 tahun 2000, Tentang PROPENAS 2000-2004
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 tahun 1982, Tentang Tata Pengaturan Air
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 tahun 1991, Tentang Rawa
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 tahun 1991, Tentang Sungai
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 47 tahun 1997, Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 114 tahun 1997, Tentang Penataan Ruang
Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dan Penanganan Pengungsi
Peraturan Menteri PU N0. 39/PRT/1989, Tentang Pembagian Wilayah Sungai
Peraturan Menteri PU N0. 48/PRT/1990, Tentang Pengelolaan Atas Air dan Atau Sumber
Air Pada Wilayah Sungai atau Sumber Air
Peraturan Menteri PU N0. 63/PRT/1993, Tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat
Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai
Buku dan Makalah
Bieri, Stephan. Dr., “Disaster Risk Management and the Systems Approach by”, World
Institute for Disaster Risk Management (DRM), 2003 (www.drmonline.net)
B. Affeltranger, “Public participation in the design of local strategies for flood mitigation
and control, INTERNATIONAL HYDROLOGICAL PROGRAMME, IHP-V
Technical Documents in Hydrology UNESCO, France, 2001.(www.unesco.org)
Ernst, John, Director – Asia Region Participation Institute for Transportation &
Development Policy, Manila – How and Why?, 1998/ (www.toolkit.com)
Pamfill. C., The process of participatory governance: an analysis of 40 cases, June 2002.
(www. toolkitparticipation.com)
________, The World Bank and Participation, The World Bank, Operations Policy
Department, 1994.
Rietbergen-McCracken, Jennifer & Narayan, Deepa, ”Participation and Social
Assessment:Tools and Techniques”, The International Bank for Reconstruction and
Development / THE WORLD BANK, USA, 1998. (www.worldbank.org)
Zonneveld, Luuk, The Toolkit for Participation in Local Government Learning to Make
participation Work. Oxfam/Novib, 2001
Gambar. Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir
Sumber: Asdak, 2002.
ANALISA FAKTOR PENYEBAB BANJIR
Banjir dalam bahasa populernya biasa diartikan sebagai aliran atau genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa, sedangkan dalam istilah teknik ‘banjir’ adalah aliran air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai tersebut (Hewlett, 1982 dalam Asdak, 2002) Lebih lanjut Siswoko (2002), menyatakan peristiwa banjir merupakan suatu indikasi dari ketidakseimbangan sistem lingkungan dalam proses mengalirkan air permukaan, dipengaruhi oleh besar debit air yang mengalir melebihi daya tampung daerah pengaliran, selain debit aliran permukaan banjir juga dipengaruhi oleh kondisi daerah pengaliran dan iklim (Curah hujan) setempat.
Fenomena banjir menjadi pandangan publik yang menyedihkan, banjir dapat terjadi kapan dan dimana saja, untuk dapat mengidentifikasi resiko banjir yang berpengaruh pada manusia dan lingkungan perlu diketahui penyebab terjadinya. Banjir dan kekeringan adalah masalah yang saling berkaitan dan datang susul
5
menyusul, semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir menyebabkan terjadinya banjir (Maryono, 2005). Lebih lanjut (Siswoko, 2002) menyatakan bahwa beberapa faktor penyebab banjir yaitu adanya interaksi antara faktor penyebab bersifat alamiah, dalam hal ini kondisi dan peristiwa alam serta campur tangan manusia yang beraktivitas pada daerah pengaliran.
1. Faktor campur tangan manusia
Menurut Siswoko (1996), beberapa hal yang menimbulkan terjadinya banjir akibat dari aktifitas manusia yaitu; (1) aktifitas tataguna lahan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air sehingga berakhir dengan kerusakan hutan dan pemadatan tanah, akibatnya mempengaruhi kemampuan tanah dalam meloloskan air (infiltrasi) yang mempercepat proses terjadinya banjir, (2) pemanfaatan atau penyedotan air tanah yang berlebihan, (3) pembendungan melintang daerah pengaliran tampa memperhitungkan dampaknya, (4) pemukiman dan pengolahan lahan pertanian di daerah dataran banjir, (5) pendangkalan daerah pengaliran akibat sediment dan sampah, (6) kesalahan perencanaan dan implementasi pembangunan kawasan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengendali banjir.
2. Faktor kondisi dan peristiwa alam
Menurut Lee (1980) dalam Subagio (1990), pengaruh penutupan hutan terhadap banjir dan kurasakan akibat banjir berkaitan dengan sedimentasi dan debit kotoran, khususnya kerusakan akibat erosi dan pendangkalan sungai. Lebih lanjut Schwab, dkk (1997), menyatakan pengaruh faktor daerah tangkapan air seperti ukuran, bentuk, posisi, topografi, geologi dan budidaya pertanian menentukan terjadinya banjir. Laju dan volume banjir suatu daerah tangkapan air meningkat bila ukuran daerah juga meningkat; akan tetapi laju dan volume banjir persatuan luas daerah tangkapan air berkurang jika luas daerah banjir bertambah.
Menurut sosrodarsono (2003), bahwa selain karena faktor daerah tangkapan air, banjir juga dipengaruhi oleh karakteristik jaringan sungai, daerah pengaliran yang tidak langsung dan drainase buatan. Lebih lanjut Asdak (2002), menyatakan
6
peningkatan volume aliran dipeengaruhi oleh faktor iklim terutama curah hujan yaitu lama waktu hujan, intensitas dan penyebaran hujan; curah hujan tidak meningkat sebanding dengan waktu, dan apabila waktu dapat ditentukan lebih lama maka penambahan curah hujan lebih kecil sebab curah hujan kadang berkurang atau berhenti. Jumlah curah hujan sebesar 3.600 ml tersebar merata sepanjang tahun, jika terkonsentrasi 2-3 bulan secara terus menerus maka energi kinetiknya dapat menimbulkan penghancuran tanah yang selanjutnya terangkut atau hanyut ke sungai. Jika daya angkut lebih kecil dari total tanah yang dihancurkan akan terjadi pengendapan (Hardjowigeno, 1992) lebih lanjut Sasongko (1992), menyatakan pengendapan didasar sungai akan mengakibatkan sungai melandai dan akan terjadi luapan air, dengan kondisi demikian peluang kejadian banjir akan semakin besar
DAMPAK NEGATIF BANJIR PADA MASYARAKAT DAN
LAHAN SEKITARNYA
Banjir merupakan masalah yang menganggu stabilitas ekonomi, banjir terjadi bukan hanya menimbulkan kerugian berupa harta benda dan kehilangan nyawa di tempat terjadinya tetapi berdampak lebih luas yaitu melumpuhkan sistem perekonomi. Contoh banjir yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia seperti; Jakarta, Jambi, Kalimantan dan Sulawesi. Debit atau volume air mampu menggenangi kota, pemukiman, jalan raya, sarana dan prasarana yang digunakan untuk melakukan kegiatan perekonomian.
Fenomena banjir khususnya di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah tahun 2003 berdampak terhadap pemadaman listrik dan terputusnya sejumlah sarana jalan jalur trans-sulawesi Palu - Donggala dan jalur trans-sulawesi Palu-Parigi Moutung lumpuh total. Debit air mencapai ketinggian 70 cm -1 meter, diperkirakan ratusan rumah penduduk, desa dan lahan pertanian subur tergenang. Banjir ini, menunjukan bahwa faktor yang menahan luapan air telah hilang, dapat diprediksi dengan semakin berkurangnya luas hutan sebagai pengatur tata air, akibat terus ditebangi sehingga
7
efek respon dari hutan berkurang akibatnya akumulasi debit DAS tawaeli dan DAS Lolitasiburi berakhir dengan terjadinya banjir.
SUARA KARYA, 8 Mei 2007, Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) Kalsel, menewaskan Shinta Mariam bin Jamairi (3,5) dan Sani bin Bahrani (3) akibat terseret arus Sungai Mandala serta M Andi bin Mahyudin (4) dinyatakan hilang sedangkan di Palu Sulteng, Ardi Temba (14) hanyut dan tenggelam di Sungai Palu saat menonton banjir. Ardi terpeleset dan jatuh dari atas jembatan teluk Palu. Informasi Palu Sulteng, menyebutkan banjir makin meluas hingga radius satu kilometer dari bibir sungai akibatnya hampir seluruh permukiman warga jalan utama di Kelurahan Ujuna dan Kelurahan Baru Palu Barat teredam banjir.
Menurut Kepala Dinas PU dan Pertambangan Energi Kota Palu, banjir yang terjadi di Kota Palu dianggap sebagai siklus banjir 100 tahun. Banjir disebabkan penggundulan hutan di bagian hulu Sungai Palu sehingga debit air meningkat. Wakil Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Sulteng, mengatakan sampai Senin siang jumlah rumah penduduk terendam banjir lebih dari 1.000 unit dan tersebar di enam kelurahan. Permukiman warga yang teredam banjir paling parah dengan ketinggian air sampai di atas satu meter terjadi di Kelurahan Nunu, Lere, Ujuna, Baru, Lolu Selatan, dan Besusu. Camat Palu Barat, menambahkan sebanyak 1.245 KK (kepala keluarga) di wilayahnya menjadi korban banjir. Korban tersebar di Kelurahan Lere sebanyak 45 KK, Ujuna (500 KK), Nunu (300 KK), dan Baru (400 KK)
UPAYA MENEKAN BENCANA BANJIR
Terjadinya banjir tidak bisa dicegah, tetapi dapat berkurang dengan prediksi banjir serta usaha pengendalian yang tepat. Fenomena banjir merupakan peristiwa yang tidak diinginkan oleh siapapun, sehingga perlu perencanaan dan perlakuan khusus terhadap DAS ataupun saluran buatan agar kapasitas sungai dan drainase dapat menampung serta mengalirkan air dimusim penghujan, hingga luapan air dapat terkendali. Penanggulangan banjir dari faktor hujan sangat sulit karena hujan adalah
8
faktor eksternal digerakkan oleh iklim makro secara global, sehingga upaya yang masih dapat dilakukan adalah menjauhkan bentuk kegiatan (pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat.
Secara umum alternatif untuk menguragi kerugian dan kurusakan akibat banjir pada daerah aliran sungai adalah:
1. Secara non tehnik structural
- Pembuatan peraturan daerah tentang penguasaan lahan dan peraturan daerah tentang daerah dataran banjir serta garis sepadan sungai.
- Pelaksanaan tindakan rehabilitasi lahan menggunakan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air guna memperkecil aliran permukaan.
- Pengaturan penggunaan lahan untuk mengantisipasi pembangunan ataupun pemanfaatan daerah dataran banjir.
- Pengaturan penambangan galian C (pasir dan batu) agar pengelolaanya berwawasan lingkungan (khusus Palu dan Donggala).
- Perlunya sosialisasi masalah banjir dan akibat yang ditimbulkan, sehingga diharapkan aktifitas masyarakat yang bermukim disekitar daerah pengaliran dapat berwawasan lingkungan.
2. Secara tehnik structural
- Pembuatan kolam retensi dan atau sumur resapan diseluruh kawasan perkebunan, pertanian, pemukiman, perkantoran, perkotaan dan pedesaan
- Pembuatan jembatan dirancang dengan panjang dan tinggi maksimal untuk kelancaran aliran air dalam volume besar (Khusus DAS).
9
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian masalah banjir dan dampak negatif yang ditimbulkan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Banjir dapat terjadi akibat iklim (curah hujan) dan banjir dapat bula terjadi akibat kerusakan DAS bagian hulu, tengah dan hilir.
2. Upaya yang dapat dilakukan menekan peristiwa banjir; untuk banjir yang disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala kegiatan ( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat, sedangkan untuk banjir akibat aktifitas manusia dan kerusakan lingkungan dapat diupayakan dengan dua cara (1) secara non teknik stuktural dan (2) secara teknik structural.
3. Agar memberikan peringatan dini kepada masyarakat tentang banjir maka diperlukan adanya alat pencatat tinggi muka air pada setiap sungai.
10



Banyak orang menduga, Global Warming yang dibicarakan banyak orang saat ini adalah penyebab utama terjadinya banjir? Iklim sudah berubah menjadi lebih panas, katanya. Es yang mencair akibat pemanasan global ini tentu saja akan menambah muka air laut. Akibatnya banyak pulau-pulau kecil yang tenggelam. Namun perlu diketahui, proses ini berlangsung sangat lama. Proses tersebut dipercepat akibat ulah manusia.
Mengenai penyebab terjadinya banjir ini, saya mempunyai beberapa pendapat. Memang benar, pemanasan global merupakan salah satu penyebab banjir. Tetapi hal ini tidak terlalu siginifikan karena sebenarnya proses alamiahnya berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama. Yang menjadi masalah pokok menurut saya adalah proses-proses jangka pendek yang berlangsung dengan cepat akibat ulah manusia. Proses jangka pendek itulah yang terakumulasi yang kemudian menjadi dampak serius terjadinya banjir.

Penyebab yang kedua adalah drainase yang buruk. Kita harusnya mencontoh model pembangunan drainase yang dilakukan penjajah Belanda dulu. Saluran-saluran air dibuat besar-besar dengan harapan air dapat mengalir lancar. Saya jadi teringat pemandangan di film-film kartun luar negeri (seperti misalnya “Kura-kura Ninja”) yang memperlihatkan bahwa di bawah jalan raya ternyata ada saluran air yang cukup besar, sampai-sampai bisa dilalui oleh orang. Tujuannya adalah agar air mengalir dengan baik walaupun dalam jumlah yang cukup banyak. Coba lihat sekarang di sekitar kita. Hampir kebanyakan, saluran air yang dibuat saat ini adalah menggunakan pipa paralon yang berukuran kecil. Drainase tidak optimal menjalankan fungsinya. Apalagi jika saluran itu macet karena tertimbun sampah. Ditambah tanah yang sudah di aspal. Ketika hujan datang (walau beberapa jam saja), air akan menggenang di bebasnya, dan terjadilah banjir.

Sekali lagi, kita analisis. Saluran air yang kecil, ditambah sampah yang menggunung. Sudah pasti jika dibuang sembarangan, sampah akan menyumbat saluran air. Ketika curah hujan besar (sebenarnya rata-rata curah hujan dimusim penghujan memang segitu kok, seharusnya tidak akan menyebabkan banjir), saluran macet, air tidak akan diserap tanah karena semuanya sudah di “semen”, lalu kemana air akan mengalir??? Ya… ke pemukiman penduduk. Jadilah banjir. Dan kebanyak dari kita hanya bisa berteriak saling menyalahkan. Tidak ada yang introspeksi, merenungi kesalahan diri sendiri. Kenapa ini bisa terjadi? Masalah banjir bukan hanya tanggung jawab sesorang atau suatu instansi tertentu. Tetapi merupakan tanggung jawab bersama, yang saling bersinergi satu dengan yang lain. Kerjasama yang baik dari pemerintah dan masyarakat tentunya.
Akhirnya, semuanya kembali pada diri kita sendiri. Jika penyebab-penyebab tersebut tidak segera kita benahi, bukan tidak mungkin ramalan Jayabaya di atas akan terbukti. Tinggal kita bertindak, kapan untuk bertindak menyelamatkan bumi ini dari kehancuran? Hari ini, esok atau entah kapan, anda sendiri yang akan melakukannya!
Mungkin temen-temen punya usul untuk mengatasi masalah banjir ini??
v